Senin, 31 Oktober 2011

Puisi: Waktu rahasia pengukir sepi



Waktu rahasia
Waktu rasa riangku
Lembut alunanmu lebih lembut dari udara petang
Memahkotai harapan-hararapan
Semerbak tiada tara

Menanti limpahan karunia dalam doaku
Menabur benih impian hingga ke ujung mimpi
Halus tepian hati sulit untuk kulabuhi
Dan dengan ketulusanku selalu menguji
Laksana laron dan lilin
Haruskah terbakar dengan rasa sayang

Rasa riangku menyatu
Rindu dalam linangan doa-doa malam
Jiwa krontang meluas hijau
Bersemi menjelang, menebar wewangian
Penambat resah dalam kesendirian

Sayup lagu terdengar
Damaikah hatimu ketika keresahan datang memelukku
Cintamu semata yang meliputi
Menatap menyayat menembus sepi
Membuang pandang memerih hati
Mengalir di mata kalbu yang dahaga
Kau adalah rahasia riangku

Damai wajahmu
Dalam pelukan malam-malamku
Sedamai kuntum seroja di taman itu
Membisik, mengalun, membawa keharuman
membahterai segala kepedihan pergi

Langit adalah kitab yang tebentang
Mencatat rahasia perjalanan kisahku denganmu
Terkesiap mataku menerjemah ucapanmu
Terdengar sayup-sayup
Diamku terpanjang laksana nisan-nisan
Itulah pesan terakhirmu
Kubaca rahasia hatimu
Biar kenangan itu menjadi pengukir dikalaku sendiri

Selamt jalan..
selamat jalan...kawan.


Cerpen: Mimpi Presiden dunia kiamat tanah air banjir air mata


Di padang rumput yang hijau

Kedengaran riuh suara ribuan orang  berkerumun di padang rumput yang luas, bunyi pekikan dan  derai tawa diselangi nyanyian menambah kegairahan yang menggila. Lautan manusia mengepung panggung pesta sambil menari dan menyuarakan selogan-selogan.
Selang beberapa menit pesta itu akan berakhir dari sebelah kiri sudut pentas tiba-tiba berdirilah sosok yang bertubuh sederhana, berkulit hitam manis dengan kumis tipis memakai jas warna merah jambu. Kelihatan tegap mengatur langkah berjalan menuju mic yang tidak seberapa jauh darinya. 

“Hidup Partai Jambu…hidup rakyat..hidup rakyat,” teriak sang calon Presiden bersemangat sambil mengangkat gepalan tangannnya.

Gelora sahutan bersambut “Hidup…hidup Partai Jambu…hidup pak Hamzah.” Gaugan itu menggema, sahut-menyahut riuh terdengar bersama gemuruh tepukan tangan para hadirin.
Itulah hari terakhir kampanye Partai Jambu.

Waktu merambat kian cepat tanpa terasa jam menunjukkan pukul 6 petang, seiring dengan matahari mulai meredup berakhir pula acara. Perlahan orang-orang mulai meninggalkan tempat kampanye. Padang rumput yang hijau mulai sunyi, beberapa petugas yang kelihatan bergegas  mengemas peralatan.

Setelah berakhirnya acara.

Iring-iringan Capres beserta rombongan melaju dengan pantas diiringi kawalan petugas keamanan menelusuri liuk-liuk jalan disinari lampu-lampu temaram yang menghiasi keindahan kota Palembang. Tangan-tangan melayangkan lambaian mengucapkan salam perpisahan, sampai di persimpangan iring-iringan itu mulai menghilang dari pandangan berkelok menuju jurusan bandara Sultan Mahmud Badarudin II yang akan bertolak pulang ke Jakarta.

“Kita mesti menang pak,” ucap pak Hamzah sembari menepuk bahu wak Dolah yang bertugas sebagai tim suksesnya itu. “Ya”, anggug wak Dolah tanpa memberi komentar panjang lebar. Pandangannya tertuju ke arah depan kaca mobil, anak matanya mengamati suasana seiring dengan melajunnya kendaraan yang diniaiki. Ia tampak keletihan dari roman mukanya.

Kehadiran sang pelopor

Pemandangan di sekeliling rumah pak Hamzah kelihatan lengang tidak seperti siang hari biasanya. Rumah bercat putih terletak di kawasan Pondok Indah itu seakan-akan beristirahat dari hiruk-pikuknya para elit politik yang bertukus-lumus mengatur strategi untuk menyukseskan jagoan mereka dalam pemilihan Presiden tidak beberapa lama lagi.

Tiba-tiba dari kejauhan tampak sebuah mobil Opel Blazer berwarna hitam menghampiri rumah tersebut terus memasuki gerbang halaman depan rumah pak Hamzah, yang ditumpangi tiga orang lelaki. Kelihatan mereka bukanlah orang-orang penting dari penampilannya nampak sederhana apa adanya dan juga tutur bicaranya, tidak banyak memakai istilah-istilah politk yang sukar difahami oleh tukang jamu apalagi rakyat kecil yang kurang faham politik sama sekali.

Selang beberapa lama ketiga orang itu  menunggu di halaman rumah “Rrrrrrrr…eet,” Suara pintu dibukakan. Keluar sosok banyangan lelaki, wajahnya kelihatan tenang sambil tersyeum lembut menghulurkan tangannya.
“Selamat datang wak Dolah, pak Imin, Haji Iman, mari masuk” ucap pak Hamzah penuh ramah. Tanpa banyak membuang kata tamu-tamu tersebut masuk satu persatu.

“Silakan duduk” pak Hamzah mempersilakan ketiga orang itu, kursi diruang itu berjejer dengan bergam bentuk. Ketiga tamu tersebut terus duduk mengambil tempat masing-masing.
“Terima kasih pak” ucap mereka hampir serentak.

“Terima kasih semuanya, telah memenuhi undangan saya” sapa pak Hamzah.

“Saya mengundang bapak-bapak sekalian ke sini karena ada hal penting yang ingin saya bincangkan, memandang kalian semua bukanlah orang lain melainkan sudah saya anggap seperti keluarga saya sendiri. Ketika saya masih jadi wong cilik, kalian tidak pernah bosan membantu saya terutama sekali wak Dolah yang sudah saya anggap seperti ayah saya sendiri”. Dengan nada memelas pak Hamzah membukakan pembicaraan, kedua matanya perlahan menatap satu persatu wajah ketiga orang itu yang memang sudah tanpak akrab di matanya.

Pandangannya terhenti pada lelaki memakai kemeja batik warna kelabu yang duduk tidak jauh dari sebelahnya. Merasa diperhatikan wak Dolah memalingkan kepalanya dari memandang sebuah lukisan burung garuda yang sudah berumur tertempel di dinding sebelah kiri tempat duduknya. Matanya bersinar membalas tatapan pak Hamzah sambil terseyum. Ruangan itu tidak begitu terang namun senyum wak Dolah tetep kelihatan jelas dari wajahnya yang mulai menua. Teringat kenangan silam bagi Pak Hamzah saat memandang wak Dolah karena banyak kenangan waktu bertetangga, merasa terhutang budi padanya.

Ketika sang calon Presiden masih ngontrak di Cileduk bekerja sebagai guru Madrasah dan mengajar ngaji di Musollah al-Muhajirin yang memang tidak seberapa jauh dari rumahnya. Pekerjaan itu diperolehi melalui belas kasihan Haji Iman kebetulan beliu bertugas sebagai Kepala Sekolah dan Imam Musollah di kampung itu yang tidak sampai hati melihat keadaan pak Hamzah menganggur berbulan-bulan sejak di PHK dari PT. Dirgantara. Perusahan kebangan itu dengar-dengar kabarnya sudah gulung kasur. Saat itu wak Dolah dan H. Iman lah tempat pak Hamzah mengadu kesusahannya.

Bagi pak Hamzah Wak Dolah bukan hanya status tetangga tapi merupakan orang yang berjasa dalam hidupnya yang banyak membantu mengatasi kesulitan-kesulitannya. Sering meminjami uang  ketika pak Hamzah dalam keadaan kepepet maklum tahu sendiri berapa besar gaji guru. Guru yang sudah pegawai pun sulit untuk naik gaji apalagi ketika itu beliu ditugasi sebagai guru agama honorer memang menyedihkan sementara kehidupan di ibu kota serba uang. Dalam hati pak Hamzah merasa bersyukur karena memiliki tetangga yang baik hati susah dicari jiran semacam itu apalagi di kota-kota besar.

Obralan di ruang tamu renyah terdengar detik demi detik berlalu di hari itu penuh rasa berharap-harap yang penuh teruja. Pak Imin kelihatannya tidak banyak bicara ia memasangkan telingganya mendengar perbualan pak Hamzah dengan wak Dolah mengenai suksesnya kampanye di Palembang yang diserahnya bulat-bulat di tangan wak Dolah. Wak Dolah merasa berbesar hati atas pujian yang keluar.

“Nanti Pak Imin dengan haji Imanpun akan mendapkan posisi penting” ujar pak Hamzah dengan nada bergurau. Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan itu seperti derap langkah kuda pejuang fi sabilillah. Angin sejuk berhembus menembusi harapan-harapan mereka menyelinap di lorong batin pak Imin. Kawan akrab pak Hamzah dari kecil sampai mereka meninggalkan Palembang mengadu nasib ke Jakarta masih tetap bersama. Sekarang ia memiliki kios pakaian kecil-kecilan di Tanah Abang walau tidak seberuntung nasibnya pak Hamzah yang akan menjadi orang penting namun hubungan mereka tetap seperti waktu masih jadi wong cilik dulu. Jadi wajarlah kiranya pak Hamzah ingin sekali berbagi-bagi kebahagiaan yang ia rasakan itu dengan teman-temannya.

Dialog mencapai mimpi

“Assalamualaikum warohmatullah, assalamualikum warohmatullah” Haji Iman mengakhiri shalat ashar yang dima’mumi wak Dolah, pak Imin termasuk jujga pak Hamzah dan isterinya. Selepas menunaikan shalat dan menyelesaikan doa, mereka semua kembali menuju ruang tamu.

“Saya sangat menghargai pendapat kalian semua” pak Hamzah langsung membuka pembicaraan. Dengan rasa penasaran semua mata tertuju padanya sambil menunggu kelanjutan kata.

“Adapun tujuan saya meminta saudara-saudara ke sini untuk mendengar saran, pendapat saudara-saudara mengenai mimpi saya nanti kiranya terkabul. Terus terang saya tidak malu membukakan kekurangan saya di depan saudara. Kalian tau sendiri saya ini bukanlah orang ahli politik yang boleh memutar belit fakta, pintar berkelakar. Sayapun kebingungan apa yang harus saya buatkan nanti setalah menjadi seorang Presiden, jadi berikanlah saran apa yang harus saya lakukan. Tidak banyak modal pengetahuan yang saya miliki mengenai tugas baru ini melainkan sedikit. Dengan keikhalasan niat yang tulus untuk memperjuangkan nasib rakyat, untuk membela rakyat dan mengangkat martabat bangsa Indonesi di mata dunia. Berdasarkan keikhlasan niat ini semoga Allah memberikan pertolonganNya,” Tutur pak Hamzah dengan mata berkaca-kaca dan nada suaranya perlahan tapi pasti. Sepertinya, hasratnya untuk membela nasib rakyat tercermin begitu tulus seputih kopiah haji yang menempel di atas kepalanya.

“Silakan wak” pak Hamzah mempersilakankan wak Dolah utuk memulai pembicaraan mungkin karena ia dianggap paling tua di antara mereka. Angin sepoi-sepoi bertiup perlahan di petang itu desirannya melambaikan kuntum bungga kemboja berwarna unggu yang terletak  di sudut kiri halam depan rumah, cuaca terasa nyaman. Ruang tamu tampak hening semua peserta diskusi tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

“Baiklah, saya akan bicara apa adanya tidak akan saya sembunyikan suara hati saya walau setipis kulit bawang. Saya menganggap berbicara di depan anak saya bukan di depan seorang Presiden. Untuk itu, saya  tidak merasa kuatir kalau nantinya di jebelos ke penjara seandainya ada perkataan yang menyinggung. Saya yakin, suara saya mewakili suara hati rakyat. Mereka tak sempat untuk berbicara di forum ini,” wak Dolah kelihatanpede menguraikan ucapannya di depan bakal calon orang nomor satu itu meskipun ia bekas tukang sablon yang berpendidikan pas-pasan tapi ia percaya kebenaran itu wajib disampaikan biarpun orang-orang tidak menyukainya.

Sambil  membenarkan duduk ia melanjutkan pembicaraannya yang terputus dengan suara serak tapi jelas terdengar.
 “Jadi pemimpin itu enak semua orang menginginkannya tapi resikonya sangatlah berat tidak untuk bermain-main karena jabatan itu amanah, akan diminta pertanggung jawaban dunia akhirat. Yang kita uruskan manusia bukan kambing dan juga bukan sedikit jumlahnya, sudah pasti melelahkan. Seorang Presiden yang disayangi rakyat ia lebih mencintai rakyatnya daripada kelurga dan dirinya sendiri dan ia juga tidak takut berkorban rela mati demi rakyatnya. Apakah anda sanggup seperti itu?. Seorang Presiden yang benar-benar dikagumi rakyat akan dikenang, disanjungi dengan tinta emas oleh rakyatnya bukanlah karena banyak tumpukan hartannya melainkan ia raja yang ‘merakyat’,  selalu menegakkan keadilan tak pandang bulu mengenai orang kecil atu orang besar; maksud saya bukan orang yang besar perutnya karena banyak makan hasil korupsi takutnya ada yang tersinggung. Tapi orang gedean. Dan yang terakhir pemberani dan berlaku adil, tidak ciut berhadapan dengan siapapun orangnya dan apapun jabatannya  mau ia dari  Partai Belang Harimau kek, Partai Taring Singa kek kalau ia salah tetap dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Negeri ini. Apakah anda sanggup berbuat demikian?”.

“Insya Allah wak, kalau saya jadi Presiden nanti akan berusaha mati-matian membela nasib rakyat,” timpal pak Hamzah sambil mengangguk-anggukkan kepala coba meresapi apa yang diwasiatkan wak Dolah.


“Jangan ketika hendak jadi Presiden pidato sana-sini, bikin janji-janji murahan untuk menipu rakyat setelah jadi presiden makan tidur kerjanya. Bawahan-bawahan yang korupsi di pejabat-pejabat, di institusi-institusi pemerintahan yang banyak memakan uangsogok  kamu tidak tahu. Kerjamu paling jalan-jalan ke luar Negeri itupun pakai uang rakyat. Gimana nga susah rakyat wong dah sekarat ditimpah lagi dengan batu, matilah. Tapi sekarang hati-hati lho rakyat sudah pintar mereka nga bakalan memilih pemimpin yang tidak jelas status dan arah tujuannya apalagi yang awalnya sudah memakai cara kotor, membagi-bagi duit agar dipilih.

Kalau orang seperti ini dipilih entar seandainya dia berkusa negara ini dijual. Rakyat mau lari ke mana? Ke luar negeri? Di luar negeri sudah penuh sesak TKI.
Ke dalam kubur?. Dah dalam kuburpun disuruh lagi orang asing menggali yang ada diperut bumi.” Kata-kata itu keluar begitu polos dari relung jiwa wak Dolah yang paling dalam terpancar dari sorot matanya yang membesar diiringi pergerakan tangannya ke sana-ke mari laksana tangan Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan.

Bersambung…