Minggu, 26 Agustus 2012

Puisi: MELAYUKU SAYANG MELAYUKU MALANG


MELAYUKU SAYANG MELAYUKU MALANG
                   Oleh: Ron. M. Nur

Riak lautan nan biru tiada bertepi
Keciap camar menyenandungkan Nusantara
Kapal laksamana berlayar perkasa
Bak raja-raja kecil di lautan surga
Membusung dada laksana manusia sempurna
Penguasa tanah leluhur penebar keagungan

Seantero jagad mengenalmu
Melayu, panggilan kekuasaanmu
Sopan santun, itulah etikamu
Budi bahasa, itulah budayamu
Melaut dengan irama gelombang selat
Laksamana kesatria gagah perkasa

Topan dari utara berhembus pagi
Mencabik kenangan memusnah harapan
Terkapar berserakan di jantung peradaban
Mengikis sisi-sisi kehidupan
Hilang bersama badai
Tenggelam dalam lamunan ombak

Legenda tak pernah sepi dari fitnah
Nafsu hina mendendangkan kepalsuan
Fatih Karamawijaya bukanlah dalang pertama
Hang Tuah korban kesekiannya
Rajutan hitam keindahan sejarah
Renungan panjang dalam transisi budaya

Dalam suka dan nestapa
Dalam benci dan rindu
Dalam linangan doa dan air mata
Tragis kisah penuh lembaran makna
Dalam bisikan tanah leluhur


Belum purnama berlalu
Gurat-gurat wajah baru tumbuh menghiasi
Halusnya mimpi-mimpi pagi diterkam
Geliat kebudayaan sayang disayang
Lupa daratan lupa beradaban
Lupa diri…lupa segalanya…
Melayuku sayang kenapa kau pergi


                                                
                                      Palembang, 19 Februari 2012

Sabtu, 18 Agustus 2012

Puisi: GENANGAN DUKA di 1 SYAWAL


GENANGAN DUKA DI 1 SYAWAL

Matahari petang marun, biru jingga
Kilauan indah menghilang disambut malam
Lembut tenggelam sampai ke ujung mimpi
Menit demi menit menjelang
Saat Tuhan menghujani rahmatNya
Dendang gembira hanyut dalam belaian Takbir
Di hari 1 Syawal yang mulia

Hari yang tersa dingin untuk kudekati
Awan mengpung rendah laksana singgasana yang rapuh
Meliuk daun-daun cemara di taman
Tertegun diam kutatap cakerawala membentang
Tak terperikan kesyahduan yang mendesahkan jiwa
Dalam pengasingan yang terbiarkan
Kemanakah perginya orang-orang yang tersayang
Menambah resah genangan duka
Memerih luka yang menganga

Suara Takbir sahut-menyahut
Sayup-sayup terdengar
Air mata menetes perlahan
Dari wajah sepi sang kesatria
Dalam pengasingan yang sepi
Dalam derai tawa orang-orang gembira

Gelas-gelas minuman berkilauan laksana batu mulia
Gugup mendekati, kudengar dengan jelas
Kudapati wajah yang terang
Dengarlah, itu tawa yang berderai-derai
Dendang gembira itu hanyut dalam duka ku
Menyelinap perlahan perasaan ibah
Tertanam kenangan menggaris di ubun-ubun
Oh….Tuhan……………..

Nun jauh di sana
Samar kutatap perlahan

Kampungku sayang kampungku malang
Ibu pertiwi kata para pujangga
Tanah akar ilalang bagi ku
Terpisahnya jasad dari mu
Tertinggal dalam peraduan sunyi
Terasing dari segala kebahagiaan

Janganlah kau menjadi pembenci kehidpan….kawan
Rahasiakanlah penderiataan batinmu
Tutup rapatlah segala keresahaan hati
Biarlah alam menjadi kesaksian kesendirianmu
Hiburlah dirimu sendiri …
Rahasialah….rahasialah….


by; ron.m.nur

Senin, 28 November 2011

Sinopsis Jurang Keadilan



Jurang Keadilan

Hatta, Rumondang Siregar adalah satu-satunya Jaksa di Indonesia blasteran Batak-Tionghoa. Sejak bayi ia dalam pengasuhan keluarga besar ayahnya di kawasan Tapanuli  Selatan, sementara kedua orang tuanya mengejar karir di ibukota. Acap kali ia menerima tindakan kekerasan dari neneknya. Beruntunglah ia memiliki kakek yang sangat mengasihinya, sehingga membentuk dirinya memiliki karakter mandiri, istiqomah sebagai Muslimah.

Ketika ia berhasil menduduki jabatan Jaksa di daerah, segenap pikiran dan upaya dipusatkan demi memberantas korupsi. Sepak terjangnya ternyata membuat gerah parah seniornya,  maka ia pun dipindah ke ibukota. Di sana ternyata ia harus berhadapan dengan situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, mulai dari isu murahan sampai fitnah yang keji. Teror dan tantangan datang bertubi-tubi bukan saja dari kalangan sejawat, melainkan dari keluarga besar ibunya sendiri yang entis Tionghoa itu.

Bagaimana sepak terjangnya saat harus berhadapan dengan sepupu dan pamannya sendiri yang ternyata adalah gembong sindikat narkoba? Ia menjadi korban pemboman di mall yang membuat seorang jaksa harus bertahan. Bukan hanya mempertahan karir jaksanya tapi juga mempertahan keperihan akibat serpihan bom, bergelut melawan maut. Banjir air mata mengenang kelopak matanya mengenang alur perjuangan dalam menentang ketidakadilan, ternyata tidak semudah yang dibanyangkan. Bagaimana keteguhan seorang Jaksa memperatahankan kedilan? Adakah ia mampu bangkit dari keterpurukan ini?




Judul  buku       : Jurang Keadilan
Pengarang         : Pipiet Senja
Tebal buku        : 256 h
Edisi                 : I /2010




Sabtu, 12 November 2011

Cerpen: Mimpi Presiden dunia kiamat


Di padang rumput yang hijau

Kedengaran riuh suara ribuan orang  berkerumun di padang rumput yang luas, bunyi pekikan dan  derai tawa diselangi nyanyian menambah kegairahan yang menggila. Lautan manusia mengepung panggung pesta sambil menari dan menyuarakan selogan-selogan.
Selang beberapa menit pesta itu akan berakhir dari sebelah kiri sudut pentas tiba-tiba berdirilah sosok yang bertubuh sederhana, berkulit hitam manis dengan kumis tipis memakai jas warna merah jambu. Kelihatan tegap mengatur langkah berjalan menuju micyang tidak seberapa jauh darinya. 

“Hidup Partai Jambu…hidup rakyat..hidup rakyat,” teriak sang calon Presiden bersemangat sambil mengangkat gepalan tangannnya.

Gelora sahutan bersambut “Hidup…hidup Partai Jambu…hidup pak Hamzah.” Gaugan itu menggema, sahut-menyahut riuh terdengar bersama gemuruh tepukan tangan para hadirin.
Itulah hari terakhir kampanye Partai Jambu.

Waktu merambat kian cepat tanpa terasa jam menunjukkan pukul 6 petang, seiring dengan matahari mulai meredup berakhir pula acara. Perlahan orang-orang mulai meninggalkan tempat kampanye. Padang rumput yang hijau mulai sunyi, beberapa petugas yang kelihatan bergegas  mengemas peralatan.

Setelah berakhirnya acara.

Iring-iringan Capres beserta rombongan melaju dengan pantas diiringi kawalan petugas keamanan menelusuri liuk-liuk jalan disinari lampu-lampu temaram yang menghiasi keindahan kota Palembang. Tangan-tangan melayangkan lambaian mengucapkan salam perpisahan, sampai di persimpangan iring-iringan itu mulai menghilang dari pandangan berkelok menuju jurusan bandara Sultan Mahmud Badarudin II yang akan bertolak pulang ke Jakarta.

“Kita mesti menang pak,” ucap pak Hamzah sembari menepuk bahu wak Dolah yang bertugas sebagai tim suksesnya itu. “Ya”, anggug wak Dolah tanpa memberi komentar panjang lebar. Pandangannya tertuju ke arah depan kaca mobil, anak matanya mengamati suasana seiring dengan melajunnya kendaraan yang diniaiki. Ia tampak keletihan dari roman mukanya.

Kehadiran sang pelopor

Pemandangan di sekeliling rumah pak Hamzah kelihatan lengang tidak seperti siang hari biasanya. Rumah bercat putih terletak di kawasan Pondok Indah itu seakan-akan beristirahat dari hiruk-pikuknya para elit politik yang bertukus-lumus mengatur strategi untuk menyukseskan jagoan mereka dalam pemilihan Presiden tidak beberapa lama lagi.

Tiba-tiba dari kejauhan tampak sebuah mobil Opel Blazer berwarna hitam menghampiri rumah tersebut terus memasuki gerbang halaman depan rumah pak Hamzah, yang ditumpangi tiga orang lelaki. Kelihatan mereka bukanlah orang-orang penting dari penampilannya nampak sederhana apa adanya dan juga tutur bicaranya, tidak banyak memakai istilah-istilah politk yang sukar difahami oleh tukang jamu apalagi rakyat kecil yang kurang faham politik sama sekali.

Selang beberapa lama ketiga orang itu  menunggu di halaman rumah “Rrrrrrrr…eet,” Suara pintu dibukakan. Keluar sosok banyangan lelaki, wajahnya kelihatan tenang sambil tersyeum lembut menghulurkan tangannya.
“Selamat datang wak Dolah, pak Imin, Haji Iman, mari masuk” ucap pak Hamzah penuh ramah. Tanpa banyak membuang kata tamu-tamu tersebut masuk satu persatu.

“Silakan duduk” pak Hamzah mempersilakan ketiga orang itu, kursi diruang itu berjejer dengan bergam bentuk. Ketiga tamu tersebut terus duduk mengambil tempat masing-masing.
“Terima kasih pak” ucap mereka hampir serentak.

“Terima kasih semuanya, telah memenuhi undangan saya” sapa pak Hamzah.

“Saya mengundang bapak-bapak sekalian ke sini karena ada hal penting yang ingin saya bincangkan, memandang kalian semua bukanlah orang lain melainkan sudah saya anggap seperti keluarga saya sendiri. Ketika saya masih jadi wong cilik, kalian tidak pernah bosan membantu saya terutama sekali wak Dolah yang sudah saya anggap seperti ayah saya sendiri”. Dengan nada memelas pak Hamzah membukakan pembicaraan, kedua matanya perlahan menatap satu persatu wajah ketiga orang itu yang memang sudah tanpak akrab di matanya.

Pandangannya terhenti pada lelaki memakai kemeja batik warna kelabu yang duduk tidak jauh dari sebelahnya. Merasa diperhatikan wak Dolah memalingkan kepalanya dari memandang sebuah lukisan burung garuda yang sudah berumur tertempel di dinding sebelah kiri tempat duduknya. Matanya bersinar membalas tatapan pak Hamzah sambil terseyum. Ruangan itu tidak begitu terang namun senyum wak Dolah tetep kelihatan jelas dari wajahnya yang mulai menua. Teringat kenangan silam bagi Pak Hamzah saat memandang wak Dolah karena banyak kenangan waktu bertetangga, merasa terhutang budi padanya.

Ketika sang calon Presiden masih ngontrak di Cileduk bekerja sebagai guru Madrasah dan mengajar ngaji di Musollah al-Muhajirin yang memang tidak seberapa jauh dari rumahnya. Pekerjaan itu diperolehi melalui belas kasihan Haji Iman kebetulan beliu bertugas sebagai Kepala Sekolah dan Imam Musollah di kampung itu yang tidak sampai hati melihat keadaan pak Hamzah menganggur berbulan-bulan sejak di PHK dari PT. Dirgantara. Perusahan kebangan itu dengar-dengar kabarnya sudah gulung kasur. Saat itu wak Dolah dan H. Iman lah tempat pak Hamzah mengadu kesusahannya.

Bagi pak Hamzah Wak Dolah bukan hanya status tetangga tapi merupakan orang yang berjasa dalam hidupnya yang banyak membantu mengatasi kesulitan-kesulitannya. Sering meminjami uang  ketika pak Hamzah dalam keadaan kepepet maklum tahu sendiri berapa besar gaji guru. Guru yang sudah pegawai pun sulit untuk naik gaji apalagi ketika itu beliu ditugasi sebagai guru agama honorer memang menyedihkan sementara kehidupan di ibu kota serba uang. Dalam hati pak Hamzah merasa bersyukur karena memiliki tetangga yang baik hati susah dicari jiran semacam itu apalagi di kota-kota besar.

Obralan di ruang tamu renyah terdengar detik demi detik berlalu di hari itu penuh rasa berharap-harap yang penuh teruja. Pak Imin kelihatannya tidak banyak bicara ia memasangkan telingganya mendengar perbualan pak Hamzah dengan wak Dolah mengenai suksesnya kampanye di Palembang yang diserahnya bulat-bulat di tangan wak Dolah. Wak Dolah merasa berbesar hati atas pujian yang keluar.

“Nanti Pak Imin dengan haji Imanpun akan mendapkan posisi penting” ujar pak Hamzah dengan nada bergurau. Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan itu seperti derap langkah kuda pejuang fi sabilillah. Angin sejuk berhembus menembusi harapan-harapan mereka menyelinap di lorong batin pak Imin. Kawan akrab pak Hamzah dari kecil sampai mereka meninggalkan Palembang mengadu nasib ke Jakarta masih tetap bersama. Sekarang ia memiliki kios pakaian kecil-kecilan di Tanah Abang walau tidak seberuntung nasibnya pak Hamzah yang akan menjadi orang penting namun hubungan mereka tetap seperti waktu masih jadi wong cilik dulu. Jadi wajarlah kiranya pak Hamzah ingin sekali berbagi-bagi kebahagiaan yang ia rasakan itu dengan teman-temannya.

Dialog mencapai mimpi

“Assalamualaikum warohmatullah, assalamualikum warohmatullah” Haji Iman mengakhiri shalat ashar yang dima’mumi wak Dolah, pak Imin termasuk jujga pak Hamzah dan isterinya. Selepas menunaikan shalat dan menyelesaikan doa, mereka semua kembali menuju ruang tamu.

“Saya sangat menghargai pendapat kalian semua” pak Hamzah langsung membuka pembicaraan. Dengan rasa penasaran semua mata tertuju padanya sambil menunggu kelanjutan kata.

“Adapun tujuan saya meminta saudara-saudara ke sini untuk mendengar saran, pendapat saudara-saudara mengenai mimpi saya nanti kiranya terkabul. Terus terang saya tidak malu membukakan kekurangan saya di depan saudara. Kalian tau sendiri saya ini bukanlah orang ahli politik yang boleh memutar belit fakta, pintar berkelakar. Sayapun kebingungan apa yang harus saya buatkan nanti setalah menjadi seorang Presiden, jadi berikanlah saran apa yang harus saya lakukan. Tidak banyak modal pengetahuan yang saya miliki mengenai tugas baru ini melainkan sedikit. Dengan keikhalasan niat yang tulus untuk memperjuangkan nasib rakyat, untuk membela rakyat dan mengangkat martabat bangsa Indonesi di mata dunia. Berdasarkan keikhlasan niat ini semoga Allah memberikan pertolonganNya,” Tutur pak Hamzah dengan mata berkaca-kaca dan nada suaranya perlahan tapi pasti. Sepertinya, hasratnya untuk membela nasib rakyat tercermin begitu tulus seputih kopiah haji yang menempel di atas kepalanya.

“Silakan wak” pak Hamzah mempersilakankan wak Dolah utuk memulai pembicaraan mungkin karena ia dianggap paling tua di antara mereka. Angin sepoi-sepoi bertiup perlahan di petang itu desirannya melambaikan kuntum bungga kemboja berwarna unggu yang terletak  di sudut kiri halam depan rumah, cuaca terasa nyaman. Ruang tamu tampak hening semua peserta diskusi tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

“Baiklah, saya akan bicara apa adanya tidak akan saya sembunyikan suara hati saya walau setipis kulit bawang. Saya menganggap berbicara di depan anak saya bukan di depan seorang Presiden. Untuk itu, saya  tidak merasa kuatir kalau nantinya di jebelos ke penjara seandainya ada perkataan yang menyinggung. Saya yakin, suara saya mewakili suara hati rakyat. Mereka tak sempat untuk berbicara di forum ini,” wak Dolah kelihatanpede menguraikan ucapannya di depan bakal calon orang nomor satu itu meskipun ia bekas tukang sablon yang berpendidikan pas-pasan tapi ia percaya kebenaran itu wajib disampaikan biarpun orang-orang tidak menyukainya.

Sambil  membenarkan duduk ia melanjutkan pembicaraannya yang terputus dengan suara serak tapi jelas terdengar.
 “Jadi pemimpin itu enak semua orang menginginkannya tapi resikonya sangatlah berat tidak untuk bermain-main karena jabatan itu amanah, akan diminta pertanggung jawaban dunia akhirat. Yang kita uruskan manusia bukan kambing dan juga bukan sedikit jumlahnya, sudah pasti melelahkan. Seorang Presiden yang disayangi rakyat ia lebih mencintai rakyatnya daripada kelurga dan dirinya sendiri dan ia juga tidak takut berkorban rela mati demi rakyatnya. Apakah anda sanggup seperti itu?. Seorang Presiden yang benar-benar dikagumi rakyat akan dikenang, disanjungi dengan tinta emas oleh rakyatnya bukanlah karena banyak tumpukan hartannya melainkan ia raja yang ‘merakyat’,  selalu menegakkan keadilan tak pandang bulu mengenai orang kecil atu orang besar; maksud saya bukan orang yang besar perutnya karena banyak makan hasil korupsi takutnya ada yang tersinggung. Tapi orang gedean. Dan yang terakhir pemberani dan berlaku adil, tidak ciut berhadapan dengan siapapun orangnya dan apapun jabatannya  mau ia dari  Partai Belang Harimau kek, Partai Taring Singa kek kalau ia salah tetap di hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Negeri ini. Apakah anda sanggup berbuat demikian?”.

“Insya Allah wak, kalau saya jadi Presiden nanti akan berusaha mati-matian membela nasib rakyat,” timpal pak Hamzah sambil mengangguk-anggukkan kepala coba meresapi apa yang diwasiatkan wak Dolah.


“Jangan ketika hendak jadi Presiden pidato sana-sini, bikin janji-janji murahan untuk menipu rakyat setelah jadi presiden makan tidur kerjanya. Bawahan-bawahan yang korupsi di pejabat-pejabat, di institusi-institusi pemerintahan yang banyak memakan uangsogok  kamu tidak tahu. Kerjamu paling jalan-jalan ke luar Negeri itupun pakai uang rakyat. Gimana nga susah rakyat wong dah sekarat ditimpah lagi dengan batu, matilah. Tapi sekarang hati-hati lho rakyat sudah pintar mereka nga bakalan memilih pemimpin yang tidak jelas status dan arah tujuannya apalagi yang awalnya sudah memakai cara kotor, membagi-bagi duit agar dipilih.

Kalau orang seperti ini dipilih entar seandainya dia berkusa negara ini dijual. Rakyat mau lari ke mana? Ke luar negeri? Di luar negeri sudah penuh sesak TKI.
Ke dalam kubur?. Dah dalam kuburpun disuruh lagi orang asing menggali yang ada diperut bumi.” Kata-kata itu keluar begitu polos dari relung jiwa wak Dolah yang paling dalam terpancar dari sorot matanya yang membesar diiringi pergerakan tangannya ke sana-ke mari laksana tangan Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan.

Bersambung…

Puisi: Tragedi tanjung priuk


TRAGEDI TANJUG PRIUK
         Ronn. M. Noor


Tragedi…ya… tragedy
Terkenang jerit tangisan hati

Tertumpah darah dalam sejarah
Rakyat tak berdosa dipaksa menyerah
Angkuh senjata menepuk dada
Gegap-gebita misiu rengkuhkan nyawa

Embun pagi tak kuasa hilangkan darah
Ditumpah keras sepatu penguasa murka
Ingar-bingar pekik menyerah
Tetap sombong menepuk dada…tepuk dada tepuklah.

Anyir nana keluar dari rongga luka
Napas sesak lusuh semangatmu
Jauh di pembaringan ibah kau terkulai
Urat leher tak berkutik mengecut musuh-musuhmu
Nistapa kaku kau terbaringlelah
Garangan itulah pembalasannya

                                Ingatlah ingat…jangan kau lupa
                                Ingatlah ingat Tragedi Tanjung Priuk

Penantianmu terasa pasrah
Riuh terdengar nafas jelata legah
Iringan keranda terdengar derai tawa
Usungkan jasad sang kesatria ke alam arwah
KepdaNya lah keadialan diserah

***

Puisi: Misteri kehidupan



                                                             Ronn. M. Noor


Hidup adalah misteri
Menukik musim berganti
Waktu menderas bagai roda pedati
Siap menggilas tanpa simpati

Hari-hari menebak teka-teki
Penyesalan datang silih berganti
Seandainya saja tiada aku di dunia ini
Mungkin tak kusaksikan ratapan di sana-sini

Angin bertiup menerpa sepi
Menerpa hati, hati yang mati
Berlari ke sana-ke mari
Penuh kesibukan tida henti

Bila angin petang datang menepi
Kuncup bunga bermekaran kembali
Jangan risaukan tentang rizki
Rizki itu takdir Ilahi

Tiada kata berhenti mencaci
Mencaci maki diri sendiri
Jangan sesali apa yang terjadi
Hidup ini adalah misteri

Alangkah gelisahnya hati
Bila tiada henti dicaci maki
Berhentilah meratapi
Hidup ini adalah misteri

Misteri bukan sembarang misteri
Misteri melebihi segala misteri
Buanglah kesedihan kegundaan hati
Dengan menyakini suratan Ilahi

Suratan tersurat sejak azali
Kau terus berjalan tetap mengintari
Mengintari  megiringi hari-hari
Hingga sampi nafasmu terhenti